Helen
Keller: Jangan Pernah Menyerah pada Nasib
Helen lahir di Tuscumbia, Amerika Serikat. Tatkala
berumur 19 bulan, ia menderita sakit panas. Akibatnya, ia menjadi tuli dan
bisu. Karena tidak bias mendengar dan melihat, Helen tak bias menniru perkataan
orang tuanya sehingga kemampuan bahasanya terbatas. Ketrbatasannya itu membuat
ia mudah marah dan tidak bisa menguasai emosi.
Suatu hari ia marah besar dan melempar adiknya
yang masih bayi. Untunglah ibunya segera batang. Setelah mengalami peristiwa
yang mengerikan tersebut, orang tua Helen mengundang para ahli untuk
mendidiknya. Sesudah melalui proses yang panjang, akhirnya orang tua Helen
mendapatkan seorang guru privat, bernama Nona Anne Sullivan.
Kedatangan Bu Sullivan disambut Hellen kurang baik
sehingga sempat terjadi keributan. Karena cacatnya Helen memiliki kebiasaan
kurang baik, yakni suka makan sambil mondar mandir. Bu Sullivan berusaha
mengubah kebiasaan buruk tersebut. Setelah berusaha keras, akhirnya Bu Sullivan
dapat mengubah kebiasaan yang uruk tadi.
Dalam proses mendidik Helen, Bu Sullivan sering
berbeda pendapat dengan orang tua Helen. Mengapa demikian? Karena orang tua
Helen sering turut campur dalam proses mendidik Helen. Akhirnya, Bu Sullivan
minta izin untuk tinggal berdua dengan Helen di rumah kecil yang berjarak
sekitar 500 meter dari rumahnya.
Awalnya, Helen sering berontak karena tidak
terbiasa. Setelah Bu Sullivan mengajarkan prakarya yang menarik, Helen mulai
senang sehingga perasaan permusuhan lenyap. Lambat laun, Helen dapat membuat
kalung dari manik manik, membuat syal, sampai menggunaakan tangan sebagai
bahasa isyarat.
Meskipun telah belajar perbendaharaan kata, Helen
sama sekali tak mengetahui artinya. Dirinya hanya menganggap sebagai permainan
semata. Hingga suatu hari Helen diajak Bu Sullivan jalan-jalan dan mendapati
pompa air. Saat Helen meraba air yang dingin dan Bu Sullivan menulis kata “air” di tangannya,
barulah Helen menyadari bahwa semua benda di dunia ini memiliki nama. Asal
mengetahui nama benda itu maka kita akan dapat berkomunikasi dengan orang lain.
Timbullah tekad dalam diri Helen untuk belajar lebih giat. Mengetahui
perkembangan itu, Bu Sullivan tambah gembira.
Suatu saat. Bu Sullivan mengajak Helen pergi ke
Boston untuk menyekolahkannya di sekolah formal. Mereka menuju ke sekolah bekas
Bu Sullivan, yaitu Perkins. Karena di situ banyak siswa buta-tuli, Helen senang
sekali dan mengajak teman-teman barunya itu berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Saat liburan musim panas tiba, Bu Sullivan
mengajak Helen mermain ke panntai. Ketika musim dingin, Helen diajaknya ke gunung
bermain salju. Tak terasa, Helen kini sudah menguasaiilmu bumi, matematika,
sejarah, bahasa, dan lain-lain.
Tahun 1890, Bu Sullivan membawa Helen menemui
seorang guru di sekolah tunarungu dan tunanetra. Bernama Nona Sarah. Bu Sarah
melatih Helen berbicara. Helen tidak hanya serius mendengar penjelasan Sarah,
tetapi dia juga melatih dirinya berbicara sendiri di rumah. Akhirnya
berhasillah Helen berbicara layaknya orang normal berbicara. Buah ketekunannya
selama ini mulai dinikmati.
Setelah melewati perjalanan panjang, pada tahun
1900 dia berhasil lulus tes dan kuliah di Harvard. Empat tahun, Helen berhasil
lulus dengan predikat memuaskan. Dialah satu-satunya di dunia sebagai orang
buta-tulibyang berhasil lulus dari perguruan tinggi.
Sejak itulah tugas Bu Sullivan sedikit ringan. Dia
hanya menemani Helen berceramah untuk mencari dana untuk mereka para penyandang
cacat. Suatu hari, Bu Sullivan jatuh sakit, dan meninggal dunia pada tahun
1936. Meski dengan kesedihan mendalam, Helen tetap berceramah demi kesejahteraan
orang-orang cacat di dunia. Pada tahun 1945, berbagai negara di seluruh dunia
mulai membuat Undang-undang Perlindungan terhadap anak-anak cacat. Ini adalah
buah dari perjuangan Helen.
Sumber: Seri Tokoh Dunia
Oleh Lin Cau Cing
(diambil dari buku Platinum:
Bahasaku Bahasa Indonesia 1 Untuk Kelas VII SMP dan MTs
Penulis: Johan Whyudi dan
Darmiyati Zuchdi. Halaman 135-136)
0 komentar:
Posting Komentar